Postingan

Tonggak dalam Perjalananku

Akhir tahun selalu memutar kisah flashback di otak dalam hitungan menit. Tentu sebagai manusia hal ini wajar dialami, walau pun hanya momentum setahun ke belakang. Hal tersebut mengingatkanku sekitar 5-6 tahun ke belakang saat di bangku perkuliahan. Saya saat itu sedang mengenyam pendidikan di fakultas dekat gang guru yang biasa disebut “Gedung Merah”.  Setelah beradu argumen tentang beberapa pemikiran filsuf luar, di sesi perkuliahan pagi hari yang mengantuk, saya mensejajari langkah Prof. Saefur Rochmat yang sedang berjalan menuju ruangan dosen.  “Saya mau ke ruangan dosen” katanya dengan langkah bergegas seperti biasanya.  Ketika kelas usai, biasanya Prof. Saefur Rochmat selalu kembali ke ruangan dosen saat tidak ada jadwal mengajar atau kadang ia lanjut menyempatkan olahraga tenis.  Saya mencoba sedikit berbasa-basi dengan menawarkan diri menanyakan pemikiran-pemikiran tokoh seperti Antonio Gramsci, Benito Mussolini, Hegel, bahkan Tan Malaka. Ya, basa-basi. Teba...

Adakah yang lebih manusia dari manusia ?

Sekali waktu seseorang bertanya, jika kecerdasan buatan bisa menghasilkan karya-karya yang sudah ada, apa yang saya lakukan sebagai penulis?  Di hari lain, seseorang juga bertanya jika ia membuat sebuah novel tapi dibantu dengan kecerdasan buatan, apa karya tersebut bisa disebut karya orisinal? Soal orisinal, menurut saya, tentu bergantung pasokan data ke kecerdasan buatan tersebut. Sumbernya dari mana dan bagaimana ia mengolahnya. Tapi, lebih penting dari itu sebetulnya, kalau memang kita bisa menulis dengan dibantu kecerdasan buatan, kenapa pembaca harus membaca tulisan kita? Kenapa pembaca tidak langsung saja meminta kecerdasan buatan membuatkan cerita untuknya? Tapi, dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya menangkap kesan kita cemas menghadapi teknologi yang semakin pintar ini. Mesin dan otak komputer di dalamnya bisa berpikir lebih cepat dan lebih cerdas. Mereka juga bekerja lebih kuat, efisien, serta presisi. Kecemasan, atau ketakutan ini, sesungguhnya sangat wajar. A...

Bayang-Bayang Musim Lalu

  Saat sepakbola berubah secara drastis, namun formula yang dipertontokan masih sama tanpa ada resep baru sebagai jalan keluar. Kondisi ini sudah lama terjadi di Sleman. Tiga musim berturut-turut para suporter selalu ketar-ketir hingga pertandingan terakhir liga. Jurang degradasi menjadi tempat ternyaman PSS dalam tiga musim terakhir. Seorang suporter yang awas, yang menyadari banyak hal tentang riwayat hidup klub ini dan tentunya tiga musim ke belakang, niscaya sangat memahami dan mencintai sebagai pendorong utama. Demi perubahan, demi perjuangan, dan demi kejayaan sangat tak terhitung apapun yang dilakukan secara sengaja maupun tidak. Gerak-gerik klub tak akan lepas dari sorot mata para suporter setiap menyambut musim baru. Suporter yang mengikuti mengikuti perkembangan klub ini dengan tekun akan menyadari beberapa hal : para pelatih dan pemain tidak henti berusaha berjuang untuk klub ini, kadang kala mereka berhasil, tapi lebih sering gagal menang dan dari sanalah rentetan c...

Elang Muda sebagai Tumpuan Masa Depan

  Sepakbola masih menjadi permainan yang banyak ditonton, didukung dan diikuti orang-orang. Tentunya generasi tua maupun muda seperti sekarang masih bertahan dan memang akan terus begitu. Fenomena ini berjalan beriringan seperti rotasi pemain di suatu   klub profesional dalam menjalani satu musim penuh kompetisi. Banyaknya pasang mata di setiap pertandingan telah menghasilkan berbagai macam argumen dalam sepakbola. Secara sepintas, argumen itu tampak mewarnai perjalanan PSS sampai saat ini. Lantas bagaimana bisa mempercayai Elang muda tanpa mencobanya?             Namun, buat saya tak ada yang betul-betul sepenuhnya baru dalam sepakbola. Jika kita melihat perjalanan PSS 10 atau 20 tahun ke belakang misalnya, selalu ada elang muda yang menjadi debutan. Walaupun masih di bayang-bayang pemain generasi tua, elang muda memang tak boleh dipandang sebelah mata. Keberadaan elang muda tentunya membawa dampak positif terhadap perk...

PERGULATAN ANTAR OTAK

  Sore ketika Karman mendengar kabar kematian pemuda dusun, Mbah Darno sedang bersitegang dengan burung-burung di sawahnya. Ia ditemani orang-orangan sawah buatannya, ditemani pohon yang menari-nari serta rokok kretek racikannya mengepul pecah ditampar angin. Sawahnya tak begitu luas di pinggir jalan tengah persawahan, terawat dari hama-hama yang sudah mengincarnya dari awal, padinya sehat dan gemuk tak terlihat kurang nutrisi pun. Di persawahan mengalir parit-parit kecil, airnya tak begitu deras pun cukup menggenangi sawah di dekatnya, ketela-ketela berbaris rapi di tegalan-tegalan sawah menunggu musim pencabutan tiba serta pisang-pisang tumbuh besar beraneka macam tanpa ditanam. Mbah Darno datang bersama orang-orang, menanam padi untuk satu musim panen, bergotong royong mengurus sawah hingga musim panen tiba. Ataupun kadang ia datang membawa lampu sentir serta sarung ketika waktu lep tiba demi menjaga pertumbuhan padinya yang mulai menguning. Bahkan Mbah Darno tak paham apa itu ...

FILOSOFI SEPAKBOLA

Bisakah kita mengikuti, menonton, bahkan merasakan sebuah euforia sepakbola lebih dari permainan? Jika kita rasakan tentang sepakbola, banyak pelajaran yang dapat diambil dari permainan itu, padahal sepakbola tidak hanya sembilan puluh menit pertandingan. Di sisi lain, sebuah perasaan yang kita miliki sebagai manusia tidak ada batas-batas yang mengikat dalam hal merasakan pertandingan sepakbola. Di keluasan perasaan itulah terdapat perjalanan panjang tentang sepakbola. Selama lebih dari satu abad sepakbola berjalan beriringan dengan kehidupan. Sepakbola membawa kesempatan bagi pemain untuk bertanding, berjumpa para pendukung, tak peduli perjalanan sembilan puluh menit yang bisa merampok waktunya. Perjalanan ini seakan menyenangkan dan setiap kali ada pertandingan sepakbola disitulah penuh strategi dan filosofi. Demikian sebuah tim tak akan membuat cemas di kala pertandingan berjalan.  Selaras dengan realita kehidupan yang kita jalani selama hidup, setiap manusia memiliki strategi d...

JANGAN LUPAKAN SEJARAH

Dua tahun belakangan kita tidak cukup dekat dengan stadion, mungkin lebih akrab dengan layar kaca. Padahal ketika musim baru di mulai, seminggu sekali para suporter berbondong-bondong menuju stadion. Sepakbola seolah menyihir seisi kota dan rutinitasnya berhenti sejenak. Satu yang berdiri kokoh adalah bangunan itu, stadion dengan karpet hijaunya. Tempat dimana sebagai wadah berkumpulnya segala bentuk perasaan bahagia, haru, keberanian yang selalu mengikuti, diikuti, dan berjalan bersama. Tentang kalender aku cukup gusar karena sebentar lagi musim baru sudah dekat sekali. Masih berada dibayang-bayang musim lalu yang kuanggap gagal. Berjuang melewati jurang degradasi, kehilangan ruh membuat bayang-bayang musim lalu selalu mengikuti. PSS Sleman dengan pemain barunya harusnya memiliki keberanian dan mental lebih. Keberanian itu sudah ditularkan dan perjuangan itu sudah dilakukan. Tidak hanya musim lalu saja, tetapi empat puluh enam tahun yang lalu adalah tonggak awal keberanian dan per...