Adakah yang lebih manusia dari manusia ?
Sekali waktu seseorang bertanya, jika kecerdasan buatan bisa menghasilkan karya-karya yang sudah ada, apa yang saya lakukan sebagai penulis?
Di hari lain, seseorang juga bertanya jika ia membuat sebuah novel tapi dibantu dengan kecerdasan buatan, apa karya tersebut bisa disebut karya orisinal?
Soal orisinal, menurut saya, tentu bergantung
pasokan data ke kecerdasan buatan tersebut. Sumbernya dari mana dan bagaimana
ia mengolahnya. Tapi, lebih penting dari itu sebetulnya, kalau memang kita bisa
menulis dengan dibantu kecerdasan buatan, kenapa pembaca harus membaca tulisan
kita? Kenapa pembaca tidak langsung saja meminta kecerdasan buatan membuatkan
cerita untuknya?
Tapi, dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya
menangkap kesan kita cemas menghadapi teknologi yang semakin pintar ini. Mesin
dan otak komputer di dalamnya bisa berpikir lebih cepat dan lebih cerdas.
Mereka juga bekerja lebih kuat, efisien, serta presisi.
Kecemasan, atau ketakutan ini, sesungguhnya sangat
wajar. Apa yang tersisa untuk manusia? Berapa banyak lapangan kerja yang hilang
karena diisi mesin, yang tak hanya lebih hebat, tapi ”diupah” lebih murah?
Lebih penting lagi, apakah ”kemanusiaan” akan hilang diganti karena
ukuran-ukuran, termasuk baik-buruk, benar-salah, mulai diambil alih oleh
algoritma pula?
Pada dasarnya kita sudah pernah melewati
ketakutan-kecemasan semacam ini. Kita barangkali pernah melihat di gambar atau
film tentang zaman dahulu, bagaimana raja-raja sering didampingi semacam
pengawal yang tugasnya mengipasi dirinya dengan kipas besar. Saya yakin
pekerjaan semacam itu sudah menghilang, atau berkurang, dengan ditemukannya
kipas angin listrik, kemudian pendingin ruangan.
Dulu, zaman saya masih SMP, antara malas dan
lambat, saya sering keteteran mencatat pelajaran di kelas. Kalaupun berhasil
mencatat, tulisan tangan saya menjadi amburadul karena tergesa-gesa sehingga
tak lagi bisa dibaca. Akhirnya saya pinjam catatan teman yang tulisannya rapi,
lalu menyalin ulang. Baru ketika saya SMA, saya sadar tak perlu menyalin ulang
tulisan teman. Cukup bawa bukunya ke kedai fotokopi dan menggandakannya.
Kita bisa melihatnya dari sisi seperti ini, bahwa
kecerdasan buatan, sebagaimana umumnya barang hasil teknologi (dari yang kuno
hingga terkini), bisa meringankan kerja dan beban manusia. Ketika kendaraan
bermesin ditemukan, mesin tersebut menggantikan kuda. Tak hanya manusia yang
bisa terbebas dari beban, bahkan binatang seperti kuda pun kini bisa
beristirahat dari tugasnya.
Matahari tentu saja tak akan beristirahat
bercahaya, setidaknya masih akan begitu jutaan tahun ke depan. Tapi, tugasnya menciptakan bayang-bayang untuk memberi petunjuk pergerakan waktu
sudah digantikan oleh jam. Tak jadi masalah meskipun hari mendung.
Kecerdasan buatan di peta digital membantu kita
mencarikan rute dari satu titik ke titik lain dengan lebih cepat. Tak hanya
mengenai jarak yang lebih pendek, tapi juga soal menghindari kepadatan lalu
lintas. Tanpa itu, kita cenderung melewati rute yang sudah akrab. Atau
membuang-buang waktu dengan bertanya ke sana-kemari.
Tentu saja saya tidak ingin meremehkan kecemasan
dan ketakutan kita mengenai kecerdasan buatan ini. Salah satu problem yang
sudah saya singgung di atas, teknologi semacam ini cepat atau lambat akan
menggusur tenaga kerja manusia.
Teller bank sudah diganti ATM. Tukang linting
rokok di pabrik, jika tak dilindungi peraturan pabrik wajib memakai mereka,
dengan gampang tersapu mesin.
Kita tak bisa semata-mata berkata, manusia bisa
beristirahat, biarkan mesin bekerja. Tak semua orang bisa beristirahat
terus-menerus tanpa kelaparan. Tak ada jaminan negara atau siapa pun memberinya
makan setiap hari. Tak semua orang juga bisa dengan mudah berganti pekerjaan
atau keahlian baru.
Apakah itu bisa terjadi? Kemungkinan besar, ya.
Tapi, pada saat yang sama, saya jadi berpikir: untuk apa (mesin) meniru
manusia? Kita bisa menikmati ”Joker” yang berbeda, versi Jack Nicholson dan
Heath Ledger, misalnya. Perbedaan yang terjadi karena mereka manusia yang
berbeda. Lagi pula, jika kecerdasan buatan mencoba meniru manusia, bukankah ia
tetap ”tiruan”?
Mungkin, inilah saatnya kita memikirkan kembali
manusia sebagai manusia. Jika manusia menjadi robot, sebagaimana
industrialisasi menciptakan banyak di antara kita seperti itu, memang dengan
mudah bisa disapu bersih oleh robot sungguhan, yang lebih kuat dan cerdas.
Tapi, siapa yang bisa menjadi manusia dengan sungguh-sungguh? Hanya manusia.
Tak ada yang lebih manusia dari manusia.
Pertanyaannya, apa itu manusia? Bagaimana kita kembali menjadi manusia?
Komentar
Posting Komentar