Bayang-Bayang Musim Lalu
Saat sepakbola berubah secara drastis,
namun formula yang dipertontokan masih sama tanpa ada resep baru sebagai jalan
keluar. Kondisi ini sudah lama terjadi di Sleman. Tiga musim berturut-turut
para suporter selalu ketar-ketir hingga pertandingan terakhir liga. Jurang
degradasi menjadi tempat ternyaman PSS dalam tiga musim terakhir.
Seorang suporter yang awas, yang
menyadari banyak hal tentang riwayat hidup klub ini dan tentunya tiga musim ke
belakang, niscaya sangat memahami dan mencintai sebagai pendorong utama. Demi perubahan,
demi perjuangan, dan demi kejayaan sangat tak terhitung apapun yang dilakukan
secara sengaja maupun tidak. Gerak-gerik klub tak akan lepas dari sorot mata
para suporter setiap menyambut musim baru.
Suporter yang mengikuti mengikuti
perkembangan klub ini dengan tekun akan menyadari beberapa hal : para pelatih
dan pemain tidak henti berusaha berjuang untuk klub ini, kadang kala mereka
berhasil, tapi lebih sering gagal menang dan dari sanalah rentetan cerita
jengkel mengikuti musim ini secara masif bermunculan.
Rasa frustasi, jengkel, dan bahkan
marah kadang memang tak terhindarkan. Namun lagi-lagi pelatih dan pemain
mempertontonkan permainan lesu dan membosankan. Seperti itulah pandangan dari
sisi luar lapangan.
Tentunya sorot mata tertuju pada
pelatih. Dalam satu musim tiga kali berganti pelatih jelas kondisi tim tidak
baik-baik saja. Kontradiksi seperti itulah yang membuat rasa cinta terhadap klub
menjelma menjadi sesuatu yang sehat. Kritik tajam datang secara masif dari para
suporter setelah performa klub turun terus-menerus.
Awal musim dengan target 10 besar
pun tidak tercapai, pemain berdatangan dengan kualitas seadanya apakah relevan
dengan target? Bukankah klub ini dari segi finansial terlihat sehat
dibandingkan dengan tim-tim lain, mengapa kualitas pemain hanya seadanya?
Tanpa melupakan pembinaan akademi
klub, tentu pembelian pemain menjadi sorotan tajam untuk musim depan. Dibawah bayang-bayang
musim lalu yang gagal total dalam segi pelatih, pemain tentu menjadi bidang
perbaikan yang perlu dipersiapkan secara matang. Mendengar dalih target 6 besar
untuk musim depan apakah itu hanya sekedar untuk pemanis awal musim seperti
biasanya atau memang upaya serius perubahan ?
Pergantian pelatih tidak sepenuhnya
memberikan jalan keluar menjadi lebih baik bukan? Pemilihan pemain yang sesuai
filosofi pelatih tentu perlu diperhatikan untuk menyambut musim depan. Pembelian
pemain yang sesuai keinginan pelatih perlu dilakukan untuk musim depan, tidak
seperti tiga musim ke belakang pergerakan seperti tidak sesuai dengan keingian
pelatih.
PSS Sleman adalah sebuah fiksi yang
menjadi realitas. Pelatih yang bisa menciptakan fiksi yang nyata terkait filosofi
permainan tentu adalah pelatih yang mampu bertahan di Sleman dan menjawab
tantangan untuk publik Sleman. Formula-formula yang masih sama untuk tiga musim
ke belakang tentunya perlu diubah ke formula yang baru yang relevan dengan
target 6 besar musim depan bukankah begitu bapak Gusti Randa? Dasar filosofi permainan
PSS Sleman setiap musim hilang tanpa persiapan yang seadanya.
Menyedihkannya lagi seorang Jonathan
Bustos terlalu berat untuk menggendong tim keseluruhan. Filosofi yang kurang
pas tentu berpengaruh ke beberapa pemain penting musim kemarin. Hasil-hasil
yang kurang akrab adalah bukti nyata musim kemarin gagal total hampir secara
keseluruhan.
Pengalaman tiga musim ke belakang
sudah cukup untuk menyambut perbaikan segala lini PSS Sleman. Terlebih lagi
target 6 besar merupakan sesuatu yang kurang realistis jika persiapan musim terlambat
hanya karena jurang degradasi musim lalu.
Komentar
Posting Komentar