Tonggak dalam Perjalananku
Akhir tahun selalu memutar kisah flashback di otak dalam hitungan menit. Tentu sebagai manusia hal ini wajar dialami, walau pun hanya momentum setahun ke belakang. Hal tersebut mengingatkanku sekitar 5-6 tahun ke belakang saat di bangku perkuliahan. Saya saat itu sedang mengenyam pendidikan di fakultas dekat gang guru yang biasa disebut “Gedung Merah”.
Setelah beradu argumen tentang beberapa pemikiran filsuf luar, di sesi perkuliahan pagi hari yang mengantuk, saya mensejajari langkah Prof. Saefur Rochmat yang sedang berjalan menuju ruangan dosen.
“Saya mau ke ruangan dosen” katanya dengan langkah bergegas seperti biasanya.
Ketika kelas usai, biasanya Prof. Saefur Rochmat selalu kembali ke ruangan dosen saat tidak ada jadwal mengajar atau kadang ia lanjut menyempatkan olahraga tenis.
Saya mencoba sedikit berbasa-basi dengan menawarkan diri menanyakan pemikiran-pemikiran tokoh seperti Antonio Gramsci, Benito Mussolini, Hegel, bahkan Tan Malaka. Ya, basa-basi. Tebakan saya ia akan menampik atau malah menyuruh membaca sendiri tentang pemikiran tokoh tersebut. Hal itu didasari oleh rasa ketertarikan saya pada mata kuliah tersebut.
Saat itu ia baru saja mengajar mata kuliah Teori Sosial kalau saya tidak salah ingat, di ruang kelas pojok dan dingin yang terpisah dari kompleks utama Fakultas Ilmu Sosial. Apalagi tentang paradigma dan hegemoni yang paling sering ia katakan saat dalam ruangan. Anak-anak Sejarah biasa berkuliah disana. Sedikit kurang etis mungkin mencegat langkah seorang Prof di tengah jalan. Namun, dalam keyakinan saya, bukankah tugas seorang dosen membuka cakrawala intelektual mahasiswanya dan urusan jalan yang diambil kembali ke mahasiswanya sendiri. Pertanyaan yang saya lontarkan saat itu kira-kira begini.
“Maaf mengganggu Prof, kenapa di Italia Fasisme itu kurang berkembang menyeluruh dibandingkan Jerman ? Apakah karena pengaruh Antonio Gramsci di Italia Selatan tentang Sosialismenya yang hegemoninya kuat ?” Sedikit sok tahu dari saya
Pertanyaan itu langsung ia tanggapi singkat, padat dan membuat saya raga sukma sampai pertemuan kuliah selanjutnya. Padahal pertemuan selanjutnya saya presentasi mengenai pemikiran “Madilog” Tan Malaka.
“Mas Fresni bisa membaca buku Antonio Gramsci, baca mengenai hegemoni dan paradigma, pertemuan selanjutnya saya akan bahas” Jawabnya lalu jalan buru-buru
Pertemuan selanjutnya, ia memenuhi janjinya sebelum kelompok saya maju presentasi. Saya selalu menyempatkan bertanya, kalau dipikir-pikir mata kuliah ini memang berat, teman-teman saya pun sedikit yang tertarik karena dirasa terlalu berat. Sedikit menjelaskan apa yang saya tanyakan minggu lalu, tapi memang saya rasa sedikit mengobati rasa penasaran saya terkait dasar pemikiran beberapa tokoh tersebut.
Komitmen setelah saya bertanya mengenai beberapa hal tersebut saya tunjukkan ketika presentasi di depan. Dalam waktu dua minggu menyusun makalah tentang “Madilog” Tan Malaka menurut saya masih kurang persiapan. Persiapan mepet mencari sumber, buku babon maupun jurnal pendukung adalah kebiasaan setiap minggu anak-anak sejarah. Sebelum maju presentasi, Prof. Saefur Rochmat melontarkan pertanyaan kepada saya.
“Mas Fresni tahu sekarang hari apa ?” kata Prof. Saefur Rochmat
Dengan ingatan dan pemahaman yang nyantol sedikit dalam pikiran.
“Tahu Prof, sekarang bertepatan dengan hari kematian Tan Malaka” Saya jawab sedikit gugup
“Jangan mengecewakan Tan Malaka ya” balasnya singkat
Setelah sesi presentasi biasanya ada tanya jawab, yang tidak biasa, Prof. Saefur Rochmat justru menambah termin pertanyaan sampai 4 termin. Seingat saya, hari rabu, 21 februari 2018, termin ke-4 hanya 1 pertanyaan saja, kalau ditotal seluruh pertanyaan waktu itu sekitar 10 pertanyaan. Tidak terjawab dengan pasti tapi setidaknya dalam keyakinan saya jangan mengecewakan.
Tak terduga sebelum mereview tema kami, Prof. Saefur Rochmat memberikan standing ovation di penghujung sesi perkuliahan tersebut. Pikir saya, masih banyak kurangnya padahal tetapi itu tanda ketika sudah mengusahakan sekecil pemahaman yang dipelajari.
Itulah sebabnya waktu perkuliahan sudah memasuki masa tugas akhir (skripsi), saya mengambil tema yang dirasa berat memang tentang Fasisme Italia. Walau tidak menjadi pembimbing skripsi saya tetapi setengah tahun yang lalu ia justru menjadi penguji utama ujian (skripsi) saya.
Banyak hal yang saya dapatkan ketika ia menjadi penguji utama saya. Meladeni beliau dalam debat saat ujian (skripsi) tentu pengalaman berharga saya. Tentang paradigma, latar belakang, transformasi pemikiran maupun teori yang dipakai sebagai dasar penyusunan skripsi. Apalagi tata bahasa yang alhamdulillahnya hanya sedikit coretan. Tetapi, belajar mengenai filsafat sejarah maupun pemikiran tokoh memang harus pelan-pelan dan sabar. Pertama, jelas saya meminta maaf selain dengan orang tua saya sendiri juga dengan Prof. Saefur Rochmat karena menyelesaikan studi terlalu lama yaitu 7 tahun. Dengan kesibukan dan tentu dihantam berbagai masalah diluar perkuliahan menjadi pengalaman sekaligus tonggak-tonggak dalam perjalananku.
Baginya, mungkin menjadi hal istimewa ketika mengoreksi tugas-tugas mahasiswanya. Itu sudah menjadi kewajibannya sebagai dosen. Namun, tindakan-tindakan kecil itu terasa istimewa di tengah iklim akademik yang hanya mementingkan nilai daripada memperluas cakrawala intelektualnya. Mahasiswa tidak tahu letak kesalahannya dimana, kurangnya apa, dan harus bagaimana memperbaikinya. Koreksi yang paling banter dan terasa mungkin saat mengerjakan tugas akhir (skripsi) dan saat ujian (skripsi).
Komentar
Posting Komentar