PERGULATAN ANTAR OTAK

 

Sore ketika Karman mendengar kabar kematian pemuda dusun, Mbah Darno sedang bersitegang dengan burung-burung di sawahnya. Ia ditemani orang-orangan sawah buatannya, ditemani pohon yang menari-nari serta rokok kretek racikannya mengepul pecah ditampar angin. Sawahnya tak begitu luas di pinggir jalan tengah persawahan, terawat dari hama-hama yang sudah mengincarnya dari awal, padinya sehat dan gemuk tak terlihat kurang nutrisi pun. Di persawahan mengalir parit-parit kecil, airnya tak begitu deras pun cukup menggenangi sawah di dekatnya, ketela-ketela berbaris rapi di tegalan-tegalan sawah menunggu musim pencabutan tiba serta pisang-pisang tumbuh besar beraneka macam tanpa ditanam. Mbah Darno datang bersama orang-orang, menanam padi untuk satu musim panen, bergotong royong mengurus sawah hingga musim panen tiba. Ataupun kadang ia datang membawa lampu sentir serta sarung ketika waktu lep tiba demi menjaga pertumbuhan padinya yang mulai menguning. Bahkan Mbah Darno tak paham apa itu instagram, twitter atau whatsapp untuk mengabari orang-orang lain. Ia hanya paham siaran lewat masjid tengah dusun serta kapan musim memanen tiba. Itulah bagaimana keseharian orang-orang dusun dengan ritme santai serta gotong royong menanam benih-benih kehidupan.

        Kala ia mendengar deru suara toa masjid yang menembus tanaman-tanaman tengah sawah. Pendengarannya masih tajam dengan jarak tak begitu jauh, ia terlalu mengenal suara toa masjid itu sebagaimana akrab dengan suara lima kali sehari masjid. Itu suara Haji Sadikin, sedikit serak tapi lantang setiap kali berbicara melalui toa. Itu sudah menjadi kebiasaannya ketika ada kabar duka atau pun hanya pengajian di masjid, ia bertugas menyiarkannya lewat toa masjid. Suaranya begitu lantang seperti pemuda umur 20 tahunan, orang-orang kala mendengarnya berhenti sejenak, burung-burung pun seolah hinggap sebentar tersihir suaranya, bahkan jin-jin pun berbaris ikut mendengarkan.

            Siaran semacam itu datang berbulan-bulan lalu, tak ada hujan dan angin seolah seperti sirine pemadam kebakaran yang mendadak berbunyi. Bukan simbol bahaya, tapi itu datang sebagai kabar duka setelah beberapa bulan yang lalu. Kala siaran itu terdengar, Mbah Darno sedang bersiap dengan atributnya, caping, baju lengan panjang serta rantang penuh dengan sayur bobor, tempe, dan sambal buatan istrinya. Dan kini ia telah bersiap dengan atributnya menjaga sawah dari serangan burung-burung serta hama-hama tak sekolah itu. Itulah seorang lelaki tua dengan sepeda onthel tua miliknya memacu sepedanya melewati parit-parit kecil serta menghindari ranting-ranting beraneka ukuran yang menjulur di pinggir jalan persawahan menuju petak sawah miliknya. Kala mendengar itu, ia dipinggiran tegalan berseru memanggil Karman di seberang jalan persawahan. Dengan raut wajah tak percaya, Mbah Darno bertanya dengan suara lirih bahwa telah ada siaran kematian seorang pemuda dusun. Ia bertanya dengan kesan agar segera untuk dilakukan salat jenazah agar beberapa orang menyiapkan liang kubur di pemakaman utara dusun. 

            “Apa betul” kata Mbah Darno selepas ketidakpercayaannya mendengar kabar siaran itu. Sejenak dengan pandangan kacau, seolah-olah menganggap siaran itu sebagai lelucon dan tak menemukan kekonyolan siaran tersebut. Setelah mendengar kabar itu ternyata, pemuda tersebut adalah Cucu ketiga Mbah Darno namanya Arli. Sontak tak percaya, ia berkata “Tadi pagi aku masih melihatnya bermain hp di gazebo depan rumah”. Ku harap anak itu tak melakukan hal-hal tak masuk akal.

            Tak seorang pun pernah mendengar kabar kematian mendadak dan aneh seperti itu selama berbulan-bulan lalu. Pernah ada siaran kabar kematian empat kali sepanjang satu minggu, namun tak seaneh kali ini. Biasanya orang-orang langsung tahu penyebab kematian setiap kali ada kabar duka dan langsung menyiapkan liang kubur. Berita kematian Arli ini seolah menjadi topik utama, sebab mereka terlalu mengenal baik si Arli maupun Haji Sadikin dalam memberi siaran kabar duka. Satu makhluk Arli ini memang mengherankan dan membuat seluruh orang dusun bertanya-tanya tentang kematiannya yang mendadak. Apakah terbunuh oleh orang atau jatuh dari gazebo itu masih mengherankan.

            Masih belum lama lenyap, sewaktu mereka terkaget mendengar kabar duka itu. Setelahnya, kepalanya seolah terjadi perang, berkelayap pertanyaan-pertanyaan terlalu berat untuk mempercayainya. Bahkan Haji Sadikin yang saleh pun telah berucap Innalillahi setelah mengumandangkan siaran, menandakan memang betul Arli, cucunya memang betul telah meninggal. Sementara itu, Karman bergegas menuju masjid dengan Motor Supra 2003 nya, menjadi lebih panik untuk segera mengetahui berita tersebut dari Haji Sadikin.

            Adalah Arli, pemuda yang tahun ini berumur 20 tahun. Memang betul sebelum kabar itu naik, pagi sebelum Mbah Darno berangkat, ia masih melihat cucunya itu duduk di gazebo depan rumahnya sambil memainkan hp pemberian ibunya. Gazebonya itu berdiri di depan rumah orang tuanya, bersebelahan dengan kebun yang tak terurus dipenuhi semak belukar serta jin yang berkembangbiak. Lain waktu, Arli sering melihat hpnya, berbicara sendiri dan ketawa terpingkal-pingkal seperti terkena kartu kuning dari rumah sakit. Beberapa orang sebenarnya melihatnya namun tak ada yang peduli mengenai pemuda itu sebab tak terjadi apa-apa tentang anak itu.

            Selepas setiap kali terjadi kematian di dusun ini entah baru-baru ini atau beberapa tahun lampau, biasanya orang-orang dusun bergantian menggali liang kubur. Dusun itu terbagi menjadi dua yaitu bagian utara dan selatan. Ketika terjadi kematian orang selatan, maka yang bertugas menggali kuburan adalah orang yang tinggal di bagian utara dan sebaliknya, sebagaimana diingat Mbah Darno. Mungkin hanya kali ini, kabar kematian masih menjadi topik utama mengenai si Arli. Terlebih tak ada tanda-tanda berselisih dengan orang, sebanyak orang-orang di sekelilingnya melihat.

            Ia meminta cangkul terbaru kepada para penggali kubur sebagai penghargaan untuk si Arli. Anak ini digadang memang memiliki masa depan cerah memajukan dusun. Apapun itu banyak di sesali kenapa Arli mendadak meninggalkan orang-orang terdekatnya. Tak tercium apa ada masalah di hidupnya, sedikit tahu anak ini memang sering bergaul dengan orang-orang, tak ada tanda-tanda keanehan akhir-akhir ini. Lagi pula, malam tadi ada perkumpulan dusun, dan ia datang mengobrol panjang lebar dengan para sesepuh dusun. Bagaimanapun Mbah Darno punya cukup alasan meyakinkan orang-orang bahwa kematian Arli memang wajar seperti pada umumnya.

            “Era sekarang memang banyak hal baru” Tanya Arli, sambil meminum kopi pahit kesukaannya.

            “Kamu anak muda tau apa?” Kata Mbah Dharmo, sesepuh dusun.

            “Kematian bisa lewat online juga” Tanya Arli penuh keyakinan.

            Meskipun anak itu jelas bertanya kematian, beberapa sesepuh dusun mengabaikan akan hal itu. Seperti biasanya pertanyaan itu seakan di remehkan bahkan tak digubris sama sekali. Obrolan malam itu terlempar jauh meninggalkan topik kematian. Entah para sesepuh itu takut kematian yang sudah dekat atau memang seperti biasa tak mendengarkan anak muda yang lebih tau era sekarang. Di antara gerombolan sesepuh itu, Mbah Dharmo memang sudah berhasil melewati berbagai zaman di negeri ini. Ia masih punya warisan bekas luka sayatan celurit di lengan serta ingatannya masih awet. Di antara perlombaan melewati zaman mungkin Mbah Dharmo pemenangnya tapi untuk perlombaan era ini, itu pun masih diragukan. Itulah perbedaan kematian era sekarang.

             Beberapa minggu ke belakang, Arli juga mendengar beberapa kabar kematian orang-orang. kematian itu dinilainya tak aneh sama sekali, bahkan seperti kematian pada umumnya, disiarkan lewat masjid, lalu orang-orang bergotong royong melayat menyiapkan tenda dan memandikannya. Dalam benaknya terjadi perang pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya kepalanya seperti dihantam benda tumpul. Tapi tak seorang pun menyadari hal ini, semenjak itu Arli sering menyendiri ditemani handphone kesayangannya. Bahkan orang di rumahnya pun tak ada yang tahu dan curiga akhir-akhir ini Arli sering menyendiri. Tak banyak yang cukup nyali untuk berbicara tentang kematian dengan sesepuh dusun seperti dirinya dengan cara itulah Arli sering tak digubris. Demikianlah kabar kematian itu menyeruak cepat menyebar hinggap diantara telinga orang-orang.

            Lelaki itu Ayah Arli, selamat dari malaikat pencabut nyawa dua kali dan membuat geger orang-orang dusun enam bulan lalu. Waktu itu, ayah Arli melewati koma selama tiga hari sebab terjatuh dari pohon rambutan di pekarangan rumah. Kepalanya terbentur tanah dan tertimpa rambutan yang telah lewat masanya. Tak ada yang lebih menyedihkan ketika mendengar kabar itu. Namun, tempo itu Mbah Darno juga sedang kembali menjaga petak sawah miliknya, sebab tak punya whatsapp untuk dikabari, jangankan whatsapp handphone pun tak paham. Sama halnya dengan Mbah Dharmo ketika kabar itu santer dan terlambat didengarnya. Hari-hari melewati koma itu, penuh suasana berkabung, itulah yang dirasakan Arli. Mungkin belum waktunya untuk Ayahnya bertemu Herro di alam sana.

Namun, tak lama lepas dari malaikat pencabut nyawa itu, Arli datang ke rumah Mbah Dharmo, berbicara panjang lebar hal mengejutkan barusan. Ketika datang Arli memang menjadi lawan bicara Mbah Dharmo tentang hal-hal kematian maupun spiritual. Ia duduk bersila, menyeruput kopi suguhan Mbah Dharmo lalu membicarakan banyak hal terutama tentang lolosnya Ayah dari malaikat pencabut nyawa. Tak ada lagi aroma berkabung yang terlihat dari perasaan anak ini, ia begitu senang kepalang.

            Telah lama Mbah Dharmo tahu anak ini. Anak ini sering menjadi lawan bicaranya ketika waktu santai serta ada acara di dusun. Barangkali memang anak ini punya wawasan lebih darinya tentang kematian seseorang. Anak ini tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya kepadanya tentang banyak hal. Mbah Dharmo pun sedikit gelisah ketika bertemu anak ini, anak ini seperti mengingatkan kematian dirinya apakah sebentar lagi atau masih cukup untuk melewati era sekarang ini.

            Ia sebetulnya anak periang yang betah untuk mengobrol lintas usia di atasnya, tapi sesungguhnya ia anak yang manis dan santun. Ia tak terlalu bodoh dalam obrolan-obrolan berat dengan usia di atasnya bahkan yang memulai terlebih dahulu. Semua orang tahu ia memang memiliki pemikiran di atas anak sebayanya, sebab itu para sesepuh sering mengobrol banyak hal terhadapnya. Maka ketika terdengar kabar Arli mati, banyak orang-orang dusun tak mempercayainya. Dan menganggapnya sebuah keanehan.

            Keyakinan bahwa anak itu telah mati yang membuat Mbah Darno, Karman, atau Haji Sadikin segera bergotong-royong memasang tenda dan bersiap menggali kubur dengan cangkul baru. Ketika sore datang selepas kabar itu, ia segera menaiki sepeda onthelnya menuju rumah duka. Sepeda onthelnya telah menemaninya bertahun-tahun lampau pergi ke pasar, lalu menjadi saksi bisa bagaimana padinya setiap musim panen mengangkut berkarung-karung padi dari petak sawahnya. Barangkali ia memakai sepeda onthelnya itu berkeliling dusun, melewati aspal-aspal tak halus ataupun melewati tanah-tanah bergelombang selatan dusun memakai sandal jepit dan caping legendnya. Sesekali mengecek rem torpedonya agar terjaga laju kemudinya. Ia hanya hendak mampir sebentar ke petak sawah miliknya membawa atributnya meski berakhir dengan kabar cucunya tak lolos malaikat pencabut nyawa.

            Dan itu bukan lagi sebuah rahasia mengenai Arli. Kabar terakhir yang didengar memang beberapa minggu lalu Arli sering sakit kepala. Apalagi semalam juga minum kopi dan mengobrol panjang lebar dengan para sesepuh dusun. Mungkin itu penyebab matinya Arli. Tapi orang-orang pun segera mempersiapkan seperti halnya kematian orang-orang biasanya. Percakapan Arli terakhir semalam “Aku sangat pusing apa benar ada kematian online atau makam online?” Kata Mbah Dharmo.

            Terakhir kali ia bercerita tentang perbedaan era dulu dan sekarang. Bagaimana keadaan era sekarang suda jauh berbeda dengan era dulu. Kematian memang dari zaman nabi-nabi terdahulu pun telah ada. Budaya tatacara pemakaman pun lantas berbeda-beda. Era sekarang orang mengalami kematian itu dua kali ungkapnya obrolan semalam. Berbeda dengan Ayahnya yang melewati koma dua kali dan lolos dari malaikat pencabut nyawa. Era sekarang entah muda atau tua memiliki sosial media pun juga mengalami kematian. Ceritanya tersebut jelas sekali disangkal Mbah Dharmo yang tak mengerti apa itu sosial media dan hidup dalam era dulu.

            Pandang matanya terasa menuntut pembuktian dari cerita anak tersebut. Dengan ragu ia mulai ingin pembicaraan akan hal itu. “Bagaimana bisa orang mengalami kematian dua kali?” Katanya kepada orang-orang. Tak ada yang mengubris memang hal itu, orang-orang terlalu sibuk menyiapkan acara layatan untuk si Arli.

            Sementara itu, ada dua orang datang mendekati Arli di gazebo. Dua orang itu seakan tak percaya Arli telah mati. Kedua orang itu bertugas mengangkat Arli untuk segera dimandikan, tiba-tiba Arli membuka kedua matanya, sontak itu membuat seluruh orang-orang dusun terkaget. Dua orang itu ialah Karman dan Haji Sadikin. Dalam keadaan linglung tak tahu apapun, Arli bertanya kepada Haji sadikin

“Apa yang terjadi?’ tanyanya penasaran.

            “Semua orang mengira kamu mati” Kata Haji Sadikin.

            Semua orang merenungi kejadian ini, suasana berkabung pun terasa sekali sore itu. Tak ada yang menyangka Arli akan seperti Ayahnya yang lolos dari malaikat pencabutnyawa enam bulan lalu. Masih dipenuhi suasana berkabung, orang-orang pun kebingungan karena semuanya telah siap, apalagi para penggali kubur yang hampir selesai membuatkan rumah masa depan bagi Arli.

            “Bukan aku yang mati” Kata Arli kepada orang-orang dusun.

            “Lantas siapa yang mati?” Tanya Karman teman dekatnya.

            “Itu, akun sosial mediaku”

            Mendengar jawaban Arli itu, Karman seolah merasa bersalah mengabarkan kepada Haji Sadikin bahwa ia salah menangkap perkataan Arli. Hal itu dikarenakan percakapannya tentang kematian berjarak 30 meter dari kedua orang itu terakhir bercakap-cakap. Mbah Dharmo pun selepas mendengar hal ini tak lagi menyangkal anak muda dalam berdebat banyak hal. Di samping itu, dari kejauhan tak ada lagi aroma kepanikan dan berkabung dari raut wajah Mbah Darno.

            Kini orang-orang menenteng keranda kosong, tak ada yang akan disi oleh orang, udara semakin hening serasa menempuh perjalanan panjang menunggu seseorang. Berkali-kali Arli memberi tahu bahwa “yang mati itu bukan aku, tetapi akun sosial mediaku” kini semua ditangan sang kuasa bagaimana memberikan jalan hidup selanjutnya yang hendak akan dijalani.

            Ia sudah lama ingin membicarakan hal ini kepada Karman sahabat karibnya atau kepada orang-orang bahwa era sekarang juga harus dipelajari untuk orang-orang era dulu sebagai pengetahuan. Setelah bertemu ia tak bisa bercerita panjang kepada Karman dan orang-orang. Ia bahkan memaki dirinya sendiri agar bisa berbicara ini di waktu kemarin, hingga satu kata terucap dari mulut Karman “Ku kira kau memang sudah mati” Katanya lirih menahan tangis.

            Inilah akhir dari pergulatan di kepalanya, tentang akun sosial media yang telah mati akan menjadi sebuah kuburan online yang berserakan oleh akun-akun tak bertuan, penuh dengan nama dan biodata. Hal semacam ini, telah lama hidup di otaknya sejak saat itu. Sekarang tak ada lagi yang bergulat di kepalanya, semuanya terjawab di gazebo pekarangan rumah pada sore itu. Dan memang benar adanya kuburan online di era sekarang atau era yang akan datang itu bakalan ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tonggak dalam Perjalananku

JANGAN LUPAKAN SEJARAH