TAMBAHAN WAKTU ADALAH PENENTU
Ketika
langit mulai berisik
dengan dentumannya, aku bergegas pulang.
Tak berapa lama, hujan mulai turun keroyokan.
Lupa membawa payung sudah menjadi kebiasaanku hingga membuatku menggerutu
tentang hujan ini. Petang itu ditemani rerumputan di depan toko kelontong mengingatkanku
bagaimana aku bisa jatuh cinta? Temaram
dan rintik adalah kombinasi paling pas melodrama. Terlebih
aku selalu gagal dalam percintaan dengan perempuan, maka pertanyaan dalam hati bercabang ke jatuh cinta
lainnya.
Ada perasaan janggal dalam hati, mungkin penyesalan-penyesalan datang gegara
hujan yang turun yang tak kuharapkan ini dan pikiran tergiring pada sepakbola yang
selalu dekat dengan tragedi. Seperti
kisah jatuh cinta lainnya dalam hidup.
Mungkin jatuh cinta dengan sepakbola
seperti jatuh cinta dengan perempuan. Aku tak tahu kapan cinta ini mulai
tumbuh. Sepakbola memang penuh misteri, semakin dicari jawabannya, semakin kita jauh dari
intinya hingga
melupakan apa yang menumbuhkan semuanya ini. Tetapi sepakbola yang penuh
misteri selalu meninggalkan perasaan romantisnya. Di sinilah sepakbola mulai
memainkan perannya membuat seseorang mulai tercengang-cengang kepada segala isinya. Tentang lapangan hijau
yang indah, taktik yang jitu, dan sembilan puluh menit penuh tragedi. Tangis
atau membawa tawa, entah kesuksesan atau kegagalan menghantam perasaan.
Kisah-kisah itu akan tetap hidup sejauh
sepakbola terus berlangsung. Berisik kombinasi hujan dan atap seng terus
mengganggu bualanku dalam pikiran dan waktu habis di petang itu.
Sampai-sampai ingatan itu membuatku menggigil.
Tak lama, aku segera menyulut api
dan mengambil rokok berharap menghangatkan
tubuh. Asap itu ku tiupkan menggulung-gulung sebelum diterpa angin. Dalam
kehidupan ini, orang-orang bebas untuk membuat kisah hidupnya sendiri, apalagi
terbentur dengan pilihan-pilihan hidup yang sulit. Menyamakan jatuh cinta
dengan sepakbola seperti jatuh cinta dengan perempuan layaknya memang gila dan
berlebihan. Tentang keteguhan, kesabaran, ketabahan menerima apapun resikonya.
Belajar mencintai dengan sepenuh hati seperti halnya sepakbola yang selalu
abadi. Kadang usaha tidak
pernah berbalas rasa, atau kadang usaha berakhir sia-sia, tapi selama
perasaannya masih ada kurasa itu yang lebih penting.
Menyaksikanmu dari kejauhan adalah
perasaan yang menyakitkan. Meski tak membatalkan kesedihan yang terlanjur jatuh,
setidaknya sebentar menahan kebahagiaanku. Ketika romantisme mulai berpisah,
paling tidak dekatkanlah dengan sepotong ingatan. Maka lewat ingatan itu, dapat
ku tuliskan. Kuharap Tuhan selalu menumbuhkan perasaan dan mengingatkan. Saat
tiba waktunya nanti dalam sembilan puluh menit aku berharap tak lupa cara
mencintaimu, memandangmu, dan mengagumimu. Tambahan waktu anggaplah sebagai penentuan
atas jawaban darimu. Itu membawaku kepada kenangan lama yang nyaris terlupakan.
“Cinta Tak Ada Mati” – Eka Kurniawan
Komentar
Posting Komentar